Bentuk Pemerintahan Tradisional Dalam Masyarakat Batak

Written By Unknown on Selasa, 29 Juli 2014 | 13.41

1.Gambaran Umum

      Masyarakat batak Tua mempunyai kepercayaan bahwa DALIHAN NA TOLU adalah penerapam kuasa Mulajadi Na Bolon. Mulajadi Na Bolon merupakan sebuah konsep mistis dan religius sebagai sumber kebenaran dan kekuasaan. Mulajadi Na Bolon sebagai kepercayaan yang lama berkembang dalam masyarakat Batak mempunyai wujud pancaran kekuasan Debata Na Tolu yaitu :

1. Batara guru sebagai fungsi kebijakan (Fungsi kebenaran)
2. Debatasori Sohaliapan sebagai kesucian 
3. Debata Balabulan sebagai fungsi kekuatan
     Dari keyakinan tersebut ada anggapan dan kepercyaan bahwa setiap pimpinan dan pemimpin  Batak sejak dari Si Raja Batak sampai dengan SI Singamangaraja XII adalah merupakan titipan Mulajadi Na Bolon. Keyakinan ini pula yang membuat setiap pemimpin Harajaaon Batak menjadi Kepala Pemerintahan, Pemimpin Ugamo dan Raja Adat. Semua kekuasaan bertumpu pada satu tangan  dan dia merupakan “Primus Interpares” . Hal ini jelas kelihatan pada saat Raja Si Singamangaraja XII memimpin Harajaon Batak. Mungkin hal inilah yang membuat si Raja Batak tidak mendirikan istananya dalam bentuk fisik, karena istananya adalah rakyatnya sendiri. Dan kebudayaan yang berkembang tersebut  yang sesuai pada zamannya sulit untuk di telusuri perkembangan dan perubahan yang terjadi pada masyarakat Batak Tua.
Jika membahas masalah Pemerintahan Batak Tradisional, maka yang ada adalah sistem kekerababatan atau kemasyarakatan batak yang selalu berlandaskan Dalihan Na Tolu, yang hidup dan berkembang dalam bentuk budaya, yang sampai saat ini, warisan budaya tersebut masih hidup dan berkembang ditengah-tengah masyarakat Batak  modern.
      Dalam tataran terentu, sistem kebudayaan bersifat universal. Demikian pula halnya dengan nilai Budaya Batak, sehingga dalam setiap hubungan kemasyarakatan yang memegang peranan adalah Hukum Adat, termasuk didalamnya penyelesaian setiap sengketa atau pertikaian. Timbulnya permasalahan-permasalahan  dalam kehidupan bermasyarakat, sebagai akibat dari adanya benturan-benturan antara kepercayaan Agama (religion) dengan keyakinan budaya yang berkembang serta hukum yang berlaku dengan Hukum Budaya Adat.  Benturan yang terjadi menghasilkan sebuah generalisasi bahwa budaya yang ada serta penerapannya tidak dapat dilakukan secara konsekwen sebagai akibat dari kemajuan zaman, atau ketertinggalan budaya mensejajarkan diri dengan kemajuan zaman. Karena hal tersebut, maka pada masyarakat Batak Tradisional. Lembaga-lembaga Adat yang di bentuk ( atau terbentuk) berperan dalam menengahi ataupun menyelesaikan setiap permasalahan yang timbul dalam hubungan kemasyarakatan. 
   
2.Kondisi Sosial Budaya Masyarakat

             Dalam Struktur sosial masyarakat Batak terdapat istilah Dalihan Na Tolu sebagai sistim nilai yang terwariskan turun temurun. Dalam Bahasa Batak, Dalihan Na Tolu adalah adalah satu jenis alat tempat memasak yang terdiri dari 3 (tiga) buah batu dan diletakkan sedemikian rupa, sehingga periuk/kuali dapat terletak stabil diatasnya. Secara etimologis berarti “tungku”. Semboyan ini dalam kehidupan sosial masyarakat Batak melambangkan 3 (tiga) unsur  dalam struktur sosial Batak, yaitu:
  1. Dongan Sabutuha yaitu pihak keluarga yang semarga didalam hubungan garis bapak secara   genealogis     (patrilinial) kekerabatan ini merupakan  fondasi yang kokoh bagi masyarakat Batak yang terdiri atas      kaum   marga dan sub marga yang bertalian menurut garis Bapak.
  2. Hula-Hula adalah kerabat dari pihak istri. Hula-hula di ibaratkan seperti “Mataniari     binsar” artinya        matahari terbit yang memberi cahaya hidup dalam setiap atau segala    kegiatan sehingga harus selalu di     hormati, sumber “Sahala” terhadap boru yang ingin       meminta “pasu-pasu” atau berkat.
  3. Boru adalah kerabat dari pihak saudara perempuan, pihak suami yang tergolong kepada boru     adalah  “Hela” atau suami boru pihak keluarga hela yang di dalamnya termasuk orang tuanya beserta    keturunannya. 

        Dalam Dalihan Na Tolu berperan dalam setiap hubungan kemasyarakatan, dan nilai-nilai yang dikandung di dalamnya selalu di junjung tinggi. Dari segi topografi, masyarakat Batak di golongkan sebagai “Masyarakat Lembah”. Masyarakat Lembah adalah pemberian dalam kepustakaan studi organisasi sosial, yang mencirikan kehidupan yang terpencil, dan terkadang dengan keterbelakangannya dari sudut pandang orang luar. Oleh karena itu masyarakat batak sangat erat  ikatannya dengan lingkungan alamnya.
Stratifikasi sosial masyarakat  Batak adalah berdasarkan prinsip perbedaan tingkat umur, perbedaan pangkat dan jabatan, perbedaan sifat keaslian dan status perkawinan. Lapisan sosial berdasrkan perbedaan tingkat umur keliahatan jelas dalam hak dan kewajiban dan upacara-upacara adat. Dalam upacara adat, hanya orangtua yang berhak mengajukan usul dan mengambil keputusan.
           Keterikatan masyarakat Batak dengan lingkungan alamnya merupakan ciri yang sangat dominan, sesuai dengan sistim nilai yang dimilikinya bahwa bumi/tanah pemberian/titipan Tuhan sebagai sumber penghidupan bagi manusia, dan diberi arti sakral sesuai dengan mitos Deak Parujar  (Bumi= ulos Na sora buruk, tenunan yang tidak akan pernah buruk). Dalam sejarah Batak Toba sebagai panguyuban politik dan religion sekaligus mitos siboru Deak Parujar dan mitos Si Singamangaraja merupakan 2 (dua) tonggak utama dalam perkembangan keagamaan dan politik, dengan praktek adat dan upacara-upacara sebagai ungkapan religiusnya. 
            Pola imigrasi Masyarakat Batak bermula dari Pusuk Buhit ( Sianjur Mula-mula) sampai pada pembukaan dan penemuan lembah-lembah baru yang meluas dan memanjang di garis pantai selatan Danau Toba (Toba Holbung), dan menurut perhitungan generasi, lembah-lembah tersebut telah mengorganisasi diri sebagai Bius (Panguyuban) yang pertama kira-kira 20 generasi yang lalu. Kesimpulan yang dapat di tarik adalah bahwa bius-bius disana sudah berfungsi di abad ke-13, lewat proses imigrasi di periode tahun 1000 sampai tahun 1300.
              Dari Bius pertama tersebut   timbul arus imigrasi ke Pulau Samosir (dari pantai Barat) dan kedaratan tinggi sebelah barat danau (humbang), kemeudian berkembang lebih lanjut menuju lembah silindung, dan kebarat sampai ke Tebing Tinggi Bukit Barisan, menghadap garis pesisir Samudera Indonesia (dari daerah Samosir dan Toba Holbung). Alasan utama sasaran imigrasi tersebut adalah pembukaan lahan pertanian yang baru yang kondisinya sama dengan Limbong Sagala. Kenapa tidak menuju bagian utama (Dairi-Pakpak, karo) atau Timur (Simalungun), karena di sana lembah-lembah hanya sedikit dan sudah mempunyai penduduk sendiri dan daerah-daerah tersebut dipandang sebagai daerah “perbatasan” yang di hormati demi menghindari kemungkinan terjadinya konflik dengan tetangga.
                  Adanya imigrasi tersebut membawa terjadinya pembukaan kampong-kampung baru. Bentuk fisik desa dalam masyarakat batak  ( sebagai panguyuban/bius) di wujudkan dengan membentuk wilayah yang berbentuk segi empat tertutup terdiri dari 2 (dua) jenis yaitu batu dan benteng dari tanah. Daerah/wilayah itu merupakan dataran yang dikelilingi pohon bambu. Ada pula yang di kelilingi dengan perbentengan yang dibuat parit disekelilingnya di dalam dan diluarnya.  Dalam keadaan demikian, kehidupan masyarakat batak seolah-olah terisolasi dari dunia luar. Keadaan wilayah dalam masyarakat batak ini lebih mengutamakan hubungan intern sehingga sangat erat
              Wilayah masyarakat batak tradisional terdiri atas beberapa tingkatan wilayah yaitu : Huta, Lumban/horja dan Bius, yang dalam tiap tingkatan dipimpin oleh seseorang yang disebut Raja dan mempunyai tugas tanggung jawab dan fungsi masing-masing. Konsep pengertian Raja dalam masyarakat Batak bukan sebagai Kepala Pemerintahan pada saat ini, tetapi adalah semua berkaitan dengan tanggung jawab.  Huta adalah kumpulan dari beberapa keluarga yang menempati huta/kampung.   Huta biasanya dihuni oleh kelompok masyarakat yang berasal dari satu marga yang sejenis. Setiap huta dikepalai ole “Raja Huta” atau “Tunggane Huta”, yaitu keturunan dari pendirinya. Jabatan yang turun temurun berdasarkan prinsip “Progmogeture” (hak waris ditangan garis tertua atau putera sulung), yang didukung oleh “Suhi Ampang Na Opat” keluarga berdasarkan kekerabatan keluarga yang berdasarkan Dalihan Na Tolu. Persoalan sehari-hari setiap penduduk yang berlangsung dalam huta diatur oleh Raja Huta  sebagai Penguasa Tunggal walaupun harus mendengar, meminta dan membagi pendapat warga dalam lembaga partungkoan.
Terbentuknya sebuah huta yangbaru dapat terjadi apabila penghuni suatu huta telah semakin berkembang sehingga harus didirikan huta yang baru sesuai dengan kebutuhannya. Inilah yang disebut dengan istilah “sosor”  Dalam perkembangan selanjutnya sosor kemudian menjadi huta sesuai dengan syarat-syarat yang lengkap sebagai Huta.
Horja adalah wilayah yang lebih luas dari Huta dan merupakan gabungan dari beberapa huta karena atas dasar “Saulaon” (kepentingan bersama). Penguasa horja dipegang oleh “Raja Oloan”  yang dipilih melalui pemilihan secara musyawarah oleh raja-raja huta.
Bius adalah gabungan dari beberapa Horja, biasanya terdiri atas 7 (tujuh) horja untuk dapat menjadi bius, gabungan horja itu haruslah memiliki suatu pecan (onan). Dan juga berfungsi sebagai tempat pertemuan Raja-raja oloan dan disana ditanam pohon beringin sebagai lambing keperkasaan. Selain itu juga, onan merupakan tempat mengadakan pesta masyarakat. Raja yang menjadi penguasa Bius disebut  “Raja Ihutan” (raja yang dipatuhi)
                 Dalam sistem bius, kedaulatan rakyat berada pada musyawarah “ Si Tuan Natorop” (kedaulatan rakyat), yaitu orang banyak yang berdaulat. Keseluruhan warga/laki-laki/kepala keluarga/penggarap yang selalu di undang bermasyarakat tentang persolan yang menyangkut seluruh bius kepentingan. Masyarakat berdaulat adalah “parlemen” tertinggi untuk memperhatikan  hak asai warga seperti :
1. Hak setiap penggarap atas sebidang tanah
2. Hak bebas memilih domisili, pindah atau bepergian keluar batas wilayah bius.
3. Hak suara/pilih dalam penentuan pimpinan (kecuali jabatan Raja Huta).
4. Hak pewarisan tanah garapan dengan memenuhi kewajibannya (tidak menelantarkan tanah) 

                         Dari pembagian wilayah yang demikian, setiap daerah mempunyai otonomi dalam mengurus daerahnya dalam batas-batas tertentu di dalam kedaulatan “Menjunjung Baringinna”. Tercermin bahwa dalam masyarakat Batak tradisional, penguasa dalam social politik dan budayanya adalah berasal dari “Primus Interpares” di daerahnya masing-masing. Tetapi secara umum bahwa dalam landasan kehidupan bermasyarakat tetap mengacu pada nilai-nilai yang dikandung dalam Dalihan Na Tolu, yang dibingkai oleh Hukum Adat dan Budaya.  

3.Pertumbuhan Pemerintahan Tradisional Masyarakat Batak

                       Harajaon batak dipimpin oleh Si Raja batak mula-mula berpsat di Pusuk Buhit, sesuai dengan mitos bahwa orang Batak pertama sekali berawal dari Sianjur Mula-mula (Limbong Sagala). Harajaon itu kemudian berkembang sampai ke Bakkara pada Dinasti Si Singamangaraja I. Harajaon Batak terdiri atas 4 (empat) wilayah yang disebut Raja Maropat yaitu : 
  1. Raja Maropat Samosir dengan wilayah Pulau Samosir  dan sekitarnya
  2. Raja Maropat Humbang dengan wilayah daerah Humbang sekarang sampai ke Samudera hindia dan      Aceh (singkil)
  3. .Raja Maropat Silindung, dengan wilayahnya Silindung sekarang sampai samudera Hindia dan      perbatasan Pagaruyung.
  4. Raja Maropat Toba dengan wilayahnya Toba sekarang sampai dengan pantai Timur berbatasan   dengan    Riau (kerajaan Johor)


                Secara terperinci struktur harajaon Batak terdiri dari mulai unit bius, sebagai wilayah daerah pemerintahan yang bersatu dengan Ugamo dan Adat. Maka pengertian Bius sekarang adalah sebuah wilayah kebudayaan. Kemudian tiap Bius terdiri dari Horja, yang juga merupakan wilayah kekuasaan pemerintahan, Ugamo dan Adat. Satu Horja adalah gambaran dari kesatuan “Paradaton” kemudian tiap Horja terdiri dari beberapa Lumban atau Huta Bolon yang juga sebagai wilayah Pemerintahan Ugamo dan Adat  dan didukung oleh marga-marga (genealogis). Struktur dan sistem demokrasi yang bertingkat dan sederhana ini mengandung prinsip “Check and balance”  yang digambarkan dengan ungkapan “Huta do mula ni Horja, horja do mula ni Bius”   
         Sistem Pemerintahan Harajaon Batak pada masa lalu tidak bisa dibandingkan dengan sistem pemerintahan sekarang, dimana satu negara dipimpin oleh seorang Kepala Negara. Munculnya Si Raja batak baru ada ketika Kerajaan Haru di taklukkan oleh Rayendra Cola III dari India Selatan tahun 1029. Gelapnya perjalanan sejarah masyarakat Batak  sejak dahulu hanya terungkap sedikit, yang menyatakan bahwa sepanjang pulau Sumatera sudah ada rumpun Batak yang disebut sebagai Melayu Tua, yang mendirikan kerajaan di Pulau Sumatera.
        Si Raja Batak  adalah Kepala Negara, kepala pemerintahan, pemimpin agama, dan raja adat. Karena pemerintahan belum dapat dijalankan sesuai dengan kedudukan  sebagai kepala negara maka jalan satu-satunya yang ditempuh adalah dengan jalan menyatukan masyarakatnya dengan sistem keagamaan dan adat istiadat. Pada saat itu pemerintahan belum terlaksana dengan sempurna dalam pengertian sebenarnya menurut hukum dan ketatanegaraan. Tetapi keagamaan dan adat istiadat sudah berjalan dengan baik.
       Harajaon Batak berpusat di Bakkara pada Dinasti Raja Si Singamangaraja berperan sebagai kepala pemerintahan, pemimpin ugamo dan adat. Raja Si Singamangaraja sebagai pemimpin kerajaan tersebut di dampingi oleh para cerdik cendikiawan yang disebut dengan “Parmalim”. Para Parmalim diangggap orang suci, di samping sebagai petugas ugamo dia berkedudukan pula sebagai pemberi pandangan dan nasehat kepada Raja Si Singamangaraja untuk menyusun kegiatan apa yang harus dilakukan rakyatnya  tiap-tiap tahun. Sedangkan panglima-panglimanya adalah dari daerah-daerah  Raja Maropat.
Walaupun disebutkan terdapat pembagian wilayah Harajaon Batak, pada hakekatnya sistem pemerintahan Raja Si Singamangaraja ia langsung memerintah rakyatnya. Sekali amanat Raja Si Singamangaraja dikatakan maka titah tersebut akan menyebar dengan begitu cepat keseluruh wilayah Harajaon dan dilaksanakan oleh rakyatnya dengan penuh kesungguhan.  Hal ini didasarkan dengan keyakinan bahwa setiap pemimpin Batak sejak dari Si Raja Batak  sampai pada Raja Si Singamangaraja XII adalah merupakan titisan Mulajadi Na Bolon.
         Sebelum sistem pemerintahan dapat berjalan dengan sempurna, maka Raja Maropat hanya dapat bertindak dalam lingkungan  musyawarah mewakili wilayah masing-masing dan masih belum dapat terwujud dalam bentuk Kepala wilayah pemerintahan yang mempunyai wewenang sebagaimana pembagian wilayah berdasarkan struktur pemerintahan. Sistem Pemerintahan Batak Tradisional baru jelas kelihatan pada wilayah dalam bentuk Bius, Horja, Lumban/Huta Bolon dan Huta.
      Disamping keberadaan parmalim sebagai petugas Ugamo, sebagai cerdik cendikiawaan mereka selalu meneliti apa yang berguna bagi rakyat bius. Mereka selalu mengaitkan kegiatan alam dengan kehidupan manusia dengan melihat dan mengikuti petunjuk alam. Parhalaan (Perbintangan), Pane Na Bolon (makrosmos) serta Desa Na Ualu ( arah mata angin). Mereka juga memberi pertimbangan-pertimbangan kepada raja-raja Bius.
      Bius adalah struktur wilayah dari sistem pemerintahan Harajaon batak yang mempunyai wilayah tertentu dan mempunyai rakyat serta pemerintahan sendiri. Pusat  kegiatan bius disebut “Parbiusan” dan menjadi tempat persidangan Raja-raja Bius. Mereka adalah pemilik “tuho” dari rumpun keluarga mereka sesuai dengan hikmat kebijaksanaan yang dimiliki berdasarkan kelahiran  atau “Partubu”.
Apa yang menjadi keputusan Raja-raja bius adalah sah dan mutlak menjadi keputusan rumpum keluarga  yang diwakilinya. Raja-raja bius bisa memilih Raja Na Opat yang membantunya dalam kegiatan pemerintahan sehari-hari, sesuai dengan keahliannya masing-masing yaitu: 
  1. Raja Parmalim yang berfungsi merencanakan dan menata organisasi bidang kepercayaan rakyat   Bius (Religi)
  2. Raja Adat, yang berfungsi merencanakan dan menata mengenai Uhum (hukum) dan Paradaton     (Adat)
  3. Raja Parbaringin, yang berfungsi merencanakan dan menata bidang sosial politik dan       keamanan Bius
  4. Raja Bondar yang berfungsi merencanakan dan menata perekonomian


                 Pimpinan Bius yang disebut “Ulu Bius” dipilih oleh raja-raja bius. Ulu bius pada mulanya disebut “ihutan” karena fungsinya sama dengan “Primus Interpares” yang dituakan sesama mereka dan kemudian berkembang menjadi Raja adat, Pemimpin Ugamo dan Pemimpin Pemerintahan. Raja-raja Bius  dari sudut keberadaanya adalah berasal dari Raja Jolo marga dan dapat diwakili oleh “Anak Sibulang-bulangan” marga itu sendiri. Raja-raja bius adalah wakil dari Horja.
        Kembali pada peran Raja Na Opat, setiap rencana dari Raja Na Opat disampaikan kepada Raja-raja bius, apabila rencana tersebut telah mendapat persetujuan dari Raja-raja Bius maka akan diteruskan kepada “Ihutan” untuk direstui, lalu di umumkan pada rakyat bius melalui Ulubalang dengan memukul gong (ogung) sekeliling bius. Dan sebaliknya apabila ada rencana dari ihutan  yang hendak yang hendak dijalankan pada wilayah bius, maka rencana tersebut diminta persetujuan dari Raja-raja Bius atau disodorkan kepada bius atau Parbaringin, lalu di umumkan melalui Ulubalang juga dan dilaksanakan ole Raja Na Opat bius. Kedudukan “Ihutan” adalah untuk mengayomi program-program tadi.
    Sebagai pelaksana dilapangan disebut sebagai “Parhobas” dengan sebutan sebagai Raja dan Pande. Seperti Raja Bondar yang mengurusi tali air, Raja Parhata yang bertugas memberi penjelasan kepada masyarakat, Pande bosi atau Pandai Besi atau Pande ruma yang mempunyai keahlian di bidang masing-masing.
     Yang menyangkut Hukum, baik Hukum yang menyangkut Perdata maupun yang menyangkut Pidana termasuk adat adalah di tangan Raja-raja bius pemilik Tuho, setelah mendengar “Panimbangi” atau Ihutan. Dalam hal ini Panimbangi juga berasal dari marga-marga tanah yang ahli akan masalah itu, atau juga ahli dalam masalah-masalah tertentu. Kuasa untuk menyetujui dan melaksanakan suatu ketetapan berada ditangan Raja-raja Bius. Walaupun demikian bukan berarti bahwa “Ihutan” tidak memegang peranan. “Ihutan” pun mempunyai peranan untuk itu karena dipandang sebagai pemilik hikmat dan kebijaksanaan karena kedudukannya.
    Raja bius juga menentukan semacam pajak bagi masyarakatnya. Sedangkan untuk “Ihutan” akan tetap mendapat “Upa Raja” yang besarnya berdasarkan keikhlasan. Semacam pajak atau “gugu” oleh masyarakat bius tersebut akan dipergunakan untuk balas jasa “Parhobas” untuk membiayai setiap kegiatan yang sifatnya bersama.
   Keunikan sistem Pemerintahan Tradisional ini terliahat dengan digambarkannya Ihutan sebagai pemimpin pemerintahan, pemimpin Ugamo dan pemimpin adat, padahal kekuatan utama berada di tangan raja-raja Bius, baik sebagai wakil rakyat maupun untuk menyelenggarakan  pemerintahan berada di tangan “Uluan”.  Dan hal inilah yang memungkinkan maka wilayah Raja Maropat, wilayah Harajaon dan kuasa pemerintahan sulit di tuliskan berdasarkan ketentuan bagaimana sebenarnya Hukum-hukum Tata Negara.
   Cita-cita sistem pemerintahan harajaon Batak adalah untuk membentuk Raja Mar Opat, bius, Horja, Lumban dan Huta menjadi wilayah pemerintahan. Tetapi hal itu tidak pernah dapat terwujud. Yang dapat terwujud hanyalah membuat Raja Mar Opat menjadi musyawarah dari wakil-wakil Bius. Yang dapat terwujud sebagai wilayah daerah Pemerintahan Harajaon batak baru pada tahap Bius, Horja, Lumban dan Huta. 
   Secara umum sistem pemerintahan Tradisional Batak ini lebih banyak dilihat dari sudut kejiawaan yang berhikmat. Hukum lahir memang kuat tetapi ikatan yang paling mendasar adalah dari segi kerohanian yang dianggap Spritual.

Struktur Pemerintahan Tradisonal Batak dapat digambarkan sebagai berikut :       
Gambar Struktur Pemerintahan Tradisional Batak

0 komentar: